Fiksi Corner
KARYA FIKSI SISWA/I SMAN 1 LEMAHABANG
- BAYANGAN
Karya : Sakya Anindi Prakarsa
Aku membuka mata dengan sedikit usaha. Mencoba bangkit setelah mengumpulkan nyawa, rasa pening seketika menyerang membuatku terhuyung ke belakang dan mendudukkan diriku kembali pada ranjang. Ibu datang menghampiriku dan menanyakan keadaanku yang sedang tidak baik. Ia mengusap kepalaku sayang sedangkan aku melingkarkan tanganku di pinggangnya dan menempatkan wajahku di perutnya. Cukup lama kami berada di posisi itu, hingga ibu menyuruhku mandi dan bersiap untuk pergi seperti yang direncanakan tadi malam. Enggan rasanya melepas pelukan ibu, tapi mau tidak mau aku menurut dan masuk ke dalam kamar mandi.
30 menit berada di kamar mandi, aku belum juga membasahi diri. Menatap cermin besar yang menempel di dinding kamar mandi dengan jiwa yang entah sudah sampai mana, aku berharap jiwaku tersesat dan tak kembali masuk pada tubuhku yang lemah, mengikuti seseorang yang kini sudah tenang jauh di sana. Bibirku bergetar membuatku harus menggigitnya kuat. Aku menghela napas berat berharap bahwa semua yang telah terjadi hanya mimpi belaka dan aku akan bangun dari tidurku dengan rasa lega.
Tok-tok
“Haris,” panggil ibu lembut dibalik pintu kamar mandi yang terkunci.
“Ibu sayang sekali padamu, kau tahu itu 'kan?” lanjutnya.
“Cepat mandi lalu sarapan. Ibu menunggumu di meja.” Setelah itu tidak terdengar lagi suara ibu.
Aku menutup telinga lalu merambat meremas rambutku kuat. Walaupun menyenangkan tapi aku ingin suara itu berhenti berbisik di kedua telinga.
══════ ※ ·❆· ※ ══════
Aku berjalan keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Mendudukkan bokongku di ranjang, aku menatap malas pada benda yang berserakan di lantai sebelum akhirnya menghela napas dan bangkit merapikan kekacauan yang kuperbuat semalam. Sampah cup mie, botol soda, dan bekas rokok yang mendominasi ku buang ke tempat sampah. Tak lupa memungut pakaian dan menyimpannya dalam keranjang. Melipat selimut dan menata bantal dengan rapi setelahnya mengambil sapu untuk membersihkan lantai. Terakhir membuka jendela lebar agar udara segar masuk dan menetralisir bau asap rokok. Selesai dengan kamar, aku pergi menuju ruang makan. Menghangatkan makanan dalam oven lalu memakannya dalam diam.
Mataku menyisir sekeliling yang tampak sepi, hanya ada ibu yang tengah menonton televisi sambil merajut. Dia bilang akan membuat sweter untukku. Aku memandangi ibu yang tengah mengomel karena film yang di tontonnya dengan kedua tangan yang sibuk dengan benang berwarna biru, tak terusik dengan keberadaanku. Ibu tampak cantik walau kerutan di wajahnya tidak dapat menyembunyikan usia. Ia beralih menatapku kemudian tersenyum lembut.
Drrtt drttt
“Halo?” sapaku mengangkat telepon.
“Apa kau sudah bangun?” tanya seseorang di seberang sana.
“Sudah. Aku juga sudah makan,” jawabku.
“Bagus. Kau akan pergi 'kan?” tanyanya lagi.
“kurasa... Ya. Atau tidak?” Aku bimbang. Aku tak siap untuk menemuinya sekarang.
“cepat atau lambat kau harus pergi menemuinya, Haris. Kau bahkan tidak datang pada hari itu dan hanya mengurung dirimu dikamar, apa kau tidak kasihan padanya?” bujuk kakakku dan memang apa yang dia katakan adalah benar. Cepat atau lambat, mau tidak mau aku harus menemuinya.
“Kalau begitu, aku menunggumu menjemputku. Kita akan pergi bersama,” kataku padanya.
“Baiklah, kakak akan menjemputmu sore nanti.” Setelah itu tidak ada percakapan lagi antara aku dan kak Bayu.
══════ ※ ·❆· ※ ══════
Di halaman belakang sudah ada ibu yang sedang menyiram bunga mataharinya. Ia menyuruhku mendekat dan membantunya menyirami tanaman.
“Kau akan pergi 'kan?” tanya ibu memastikan.
“Iya, kak Bayu akan menjemputku sore nanti,” balasku dan diangguki oleh ibu.
“Kau mau membuat cokelat panas?” tawarnya dan ku balas anggukan semangat. Ibu pergi ke dapur lebih dulu disusul olehku setelahnya.
“Kemari sayang, bubuk cokelatnya ada di laci atas." Aku lantas membuka laci atas dan mengeluarkan kotak kemasan bubuk cokelat.
Aku membuat cokelat panas sedangkan ibu memindahkan kue kering ke dalam toples. Setelah selesai aku membawanya ke meja makan. Menghabiskan waktu bersama ibu dalam senyap membuatku tenang. Terlebih hujan perlahan turun membuat suasana intim yang kentara.
“Kau harus hidup dengan baik ya, nak. Haris anak ibu yang kuat."
Hari menjelang sore dan aku sudah bersiap untuk pergi dengan kak Bayu, hanya tinggal menunggu dia datang menjemput. Selama menunggunya aku menulis sesuatu di buku diary milik ibu. Entah bagaimana bisa buku itu berada disana, aku menuliskan perasaanku di buku bersampul pink itu. Menyoret kata demi kata hingga tersusun banyak paragraf yang tak ku sangka akan memakan hingga satu lembar kertas. Melegakan rasanya saat aku menulis disana. Semua beban terasa berpindah lewat tinta dari pena yang menari-nari dengan lincah.
Tin-tin
Aku segera menutup buku diary itu saat klakson mobil kak Bayu terdengar. Berjalan keluar dari kamar, aku melihat ibu yang tertidur di sofa lantas mendekatinya tanpa suara lalu menaikkan selimut yang dipakainya. Aku tersenyum teduh saat melihat wajah damai ibu yang tertidur.
“Tidur yang nyenyak ya, bu? Aku akan hidup dengan baik." Setelah mengatakan itu aku keluar dari rumah dan langsung menaiki mobil kak Bayu yang terparkir di depan.
══════ ※ ·❆· ※ ══════
Hujan yang turun tak menyurutkan niatku untuk datang ke tempat ini. Masa bodoh dengan sepatu putihku yang kotor karena tanah merah yang kuinjak. Aku memegang payung hitam yang kubeli dipinggir jalan tadi dan melanjutkan perjalananku ke tempat tujuan. Mobil kak Bayu diparkir di tempat parkir dan tidak bisa memasuki kawasan ini lebih jauh. Kami harus berjalan kaki sebentar hingga sampai ke tempat ini.
Tempat peristirahatan terakhir ibu, persis di samping makam ayah yang sudah lebih dulu berada di sisi Tuhan.
Aku memandang makan ibu lama, kemudian beralih menatap makam ayah yang terawat walau sudah bertahun-tahun lamanya.
“Maaf aku baru datang, aku harus menyiapkan hati sedikit lebih lama.”
“Kau pasti marah karena aku tak datang pada hari pemakamanmu dan memilih untuk mengurung diriku dikamar. Maafkan aku ibu.”
“Aku hanya masih tak menyangka. Aku... Tidak mengerti kenapa kau harus secepat ini.”
Mataku mulai berkaca kaca dan aku merasakan kak Bayu mengelus bahuku pelan menyalurkan kekuatannya padaku.
“Aku berterima kasih sekali kau sudah mau bertahan selama ini. Terima kasih telah merawatku dan kakak dengan baik. Aku minta maaf karena selalu meninggalkanmu dirumah sendirian, aku minta maaf karena menjadi anak yang pembangkang, aku minta maaf karena tidak bisa menjadi anak yang bisa kau banggakan. Aku menyesal. Jika aku tahu bahwa dengan tidak adanya kau di dunia ini akan membuat hidupku sengsara, aku tidak akan pernah sekalipun, bahkan hanya berniat untuk menyakiti hatimu. Aku tidak akan.” Aku menahan napasku sesak.
“Aku bahkan belum membahagiakanmu tapi kenapa kau meninggalkanku juga seperti ayah?” lanjutku pelan dengan air mata yang mulai menghiasi pipi.
Kak Bayu memelukku erat seakan memintaku membagi rasa sedih padanya. Aku melepas payung yang aku pegang dan balas memeluknya erat. Membiarkan rintik hujan membasahi tubuhku dan kakak. Kami saling berbagi kesedihan dan menyalurkan kekuatan satu sama lain lewat pelukan.
Cukup lama dengan posisi itu, aku melepas pelukan dan mulai menghentikan tangisan. Kak Bayu memberikanku bunga mawar yang dibelinya. Aku menaruh bunga mawar merah kesukaan ibu di atas tanah makamnya begitu pula dengan ayah. Aku memeluk dua nisan itu bergantian seakan yang aku peluk adalah ayah dan ibu.
“Aku merelakanmu pergi ibu, bertemu dengan ayah di tempat yang bahagia. Istirahat yang nyenyak, Aku akan hidup dengan baik. Haris anak ibu yang kuat 'kan?"
Perlahan aku bangkit dari posisiku. Kak Bayu berjalan lebih dulu disusul aku yang mengekorinya. Payung hitam ku bawa tanpa memakainya untuk melindungi tubuhku dari hujan. Aku meninggalkan makan ayah dan ibu dengan hati yang penuh kesedihan.
Untuk sang pemilik cinta tak terbatas, ibu.
Aku tahu ibu tidak akan membaca ini. Aku juga tahu ibu tidak akan pernah kembali lagi kesini menemaniku menjalani hari-hari. Hatiku sesak sekali saat dipaksa menerima kenyataan bahwa kau telah benar-benar pergi. Pergi jauh hingga tak dapat aku peluk lagi. meninggalkanku sendiri untuk selama selamanya hinggaku mati nanti.
Aku berpikir bahwa semua hanya mimpi belaka dan aku akan bangun hanya dengan rasa cemas di dada. Tapi kenapa setiap kali membuka mata semua tetap tak kembali semula? Aku masih tetap tak menemuimu dirumah hingga rasanya aku gila dan memunculkan bayanganmu dengan imajinasi yang ada.
Kenyataan bahwa tak akan ada lagi yang menyiapkan sarapan, tak akan ada lagi yang menyambutku pulang, tak akan ada lagi candaan yang membuat hidupku senang membuat kepalaku terasa terpecah belah. Aku harus apa? Aku harus bagaimana dengan tak adanya ibu dirumah?
Aku mencoba menanam sugesti bahwa aku bisa melakukannya sendiri, namun tetap saja rasa kehilangan itu selalu ada menghantui. Ibu aku hanya belum siap, sungguh.
Aku mencintaimu dengan sangat, tidak sebanding denganmu yang mencintaiku tanpa syarat. Aku hanya bisa merapalkan itu dalam hati tanpa bisa lagi mengatakannya sendiri. Namun seperti apa yang pernah kakak bilang bahwa ibu dapat merasakan cintaku bahkan tanpa kalimat, aku bersyukur atas itu, sangat.
terima kasih atas cinta tak terbatas yang kau berikan walau berakhir dengan membuat jantungku kebas. Aku percaya kau akan terus memberikan cintamu bahkan saat kau sudah berada ditempat bahagia yang luas.
Tenang disana ya, Bu. Tidur yang nyenyak. Sampaikan salamku pada ayah aku mencintainya dengan teramat. Aku akan bertahan dalam hidup dengan sedikit rasa tak nyaman, sendirian, dengan rumah yang dipenuhi dengan memorimu di setiap sudut ruangan. Seperti diary yang penuh dengan kenangan yang kini hanya menjadi angan.
Haris.
- KITA DAN EGO
Karya : Jeani Septiani
Di sunyinya malam hari
aku dan dia berada di hadapan api yang membara
Aku sangat merindukanmu
Aku merindukan mata teduh yang sangat menenangkan itu.
Di hadapan api yang menjulang tinggi, dia menceritakan keadaan kehidupannya tanpa diriku.
Aku pikir...
Dia biasa saja tanpa diriku
namun nyatanya aku salah, dia bahkan sangat terluka tanpa adanya diriku.
Aku hanya memikirkan dan mementingkan egoku saja. Bahkan, aku merasa paling tersakiti.
Aku merindukan kita.
Kita yang sama sama mengerti satu sama lain bukan kita yang mementingkan ego dan menghancurkan semuanya.
Pikiranku berargumen 'apakah kita bisa kembali seperti dulu'
Detik itu saat aku sedang berargumen dengan pikiranku dia berucap 'apakah kita bisa seperti dulu'
Bak di sambar petir apakah dia bisa membaca pikiranku ataukah semesta menginginkan kita kembali untuk saling mengobati luka satu sama lain.
Akupun mengiyakan karena bagaimana pun aku masih menginginkan dia berada di dekatku.
Setelah jawaban yang ku berikan dia langsung mendekapku dengan erat beserta tangisannya, dia pun berucap 'terimakasih banyak sudah kembali kepada diriku lagi wahai semestaku' malam itu menjadi malam yang penuh arti.
- NIRMALA
Karya : Alisya Azzahra
Haidar Antasena Wasesa, sesosok lelaki berhati renjana, pemilik nayanika yang perangainya bagai lembayung yang merekah dengan sempurna di dunia niskala ini.
Pria itu selalu salah tingkah ketika bertemu dengan Hara, yang baru beberapa hari menjadi tetangganya itu.
Ketika dia berbincang dengan Hara ia tak henti hentinya tersenyum manis lalu berkata "Nirmala" sambil terbengong bengong di halaman rumahnya memikirkan bagaimana masa depannya jika bersama Hara.
Bahkan saat bundanya bertanya "ada apa, nak?" lelaki itu tetap terdiam, fokus dengan mimpinya. Sesaat bunda menepuk pundaknya yang ketiga kali barulah ia tersadar bahwa didepannya sudah ada bunda yang tersenyum sambil kebingungan dengan sikap anaknya akhir akhir ini.
Menurut Haidar, seorang Hara Akshita Mahiswar adalah perempuan paling sempurna baginya. Walaupun baru beberapa kali pertemuan dengan Hara, Haidar tahu bahwa Hara adalah perempuan yang berelok budi maupun pemikirannya.
Hara tidak tahu bahwa laki laki yang diajak berbicara ini terus menerus mengudara dikala berbincang hangat dengannya.
Saat ditanya oleh Bunda, "kenapa mencintai Hara? kamu kan baru beberapa hari mengenalnya." Mendengar itu Haidar hanya tersenyum, lalu menjawab "Litani saya sudah terjawab, maka sudah waktunya saya menapaki asmaraloka."
Komentari Tulisan Ini
Halaman Lainnya
PROFIL PELAJAR PANCASILA
Dikutip oleh kemdikbud , “ Pelajar Pancasila” adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesu
Daftar Ulang Kenaikan Kelas
Peserta didik kelas XI dan XII SMAN 1 Lemahabang Kab Cirebon Silakan download surat daftar ulang kenaikan kelas berikut https://bit.ly/DaftarUlangSMAN1LA Lalu silak
Info PPDB 2024
Silakan klik ini untuk info lebih lanjut Informasi PPDB